Salam Kawan!

Salam Kawan!

Semulia-mulia manusia ialah orang yang mempunyai adab yang merendah diri ketika berkedudukan tinggi, memaaf ketika berdaya membalas dan bersikap adil ketika kuat -Khalifah Abdul Malik Marwan

Berawal dari Sebuah Idealisme

Berawal dari Sebuah Idealisme

Kamis, 28 April 2011

Proposal Tesis

 PERILAKU MANUSIA DAN PROSES MENTAL DALAM TRILOGI NOVEL KARYA AHMAD TOHARI (Analisis Strukturalisme Genetik Dan Linguistik Fungsional Sistemik:Proses Mental terhadap Novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala)

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan karya seni yang berisi nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dengan mempelajari karya sastra, seseorang perlu pula belajar dan mempelajari masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumardjo (1999:194) bahwa nilai-nilai dalam karya sastra tidak begitu saja lahir tanpa adanya pengorbanan, tetapi dengan belajar dari masyarakat.
Apabila ditelusuri dari perjalanan sejarah sastra Indonesia, dari awal keberadaannya sebagai hasil kebudayaan yang dikenal dengan sastra tradisional, karya sastra Indonesia kemudian terus berkembang hingga akhirnya dikenal dengan sastra modern. Perkembangan sastra Indonesia mengalami berbagai ekplorasi substansi (terutama tema) mulai dari keberadaan ekonomi, sosial, politik maupun budaya dan keberadaan keagamaan. Dari awal masa kemerdekaan novel Matahariah karya Mas Marco Kartodikromo mengangkat pemikiran multikulturalisme yang tidak terlepas dari realitas sosial dengan mengeksplorasi permasalahan kemiskinan serta kolonialisme, konfrontasi ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan (Ratih Dewi 2006: 2). Selain itu karya-karya Pramoedya Ananta Toer seperti Tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah, kemudian, novel Perburuan, Gadis Pantai dan lainnya yang mengeksplorasi sosio-kultural Indonesia yang juga dipadukan dengan konfrontasi ras dan kelas sosial yang begitu signifikan. Kemudian pada era tahun 70-an permasalahan budaya dan adat kemudian mengemuka yang ditandai dengan hadirnya novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan terus berlanjut pada tahun 80-an walaupun pada akhirnya tahun ini perkembangan permasalahan ketimpangan sosial, ekonomi, politik lebih banyak berkembang seperti yang tereksplorasi dalam trilogi novel Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala, seperti yang penulis analisis dalam tulisan ini.
Beranjak dari keberadaan sastra seperti yang telah dijelaskan di atas, penulis menilai sangat menarik untuk menganalisis trilogi novel Ahmad Tohari ini, terlebih guna mengungkap perilaku manusia dan proses mental yang tereksplorasi dalam novel tersebut. Keberadaan manusia sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial dengan memiliki karakter yang bervariasi menjadi sangat urgen untuk diteliti, terlebih bila dihadapkan dengan realitas permasalahan ekonomi, sosial, budaya dan kepercayaan yang muncul dilingkungannya secara bertubi-tubi. Kemunculan tindakan ‘buas’ akan mungkin terjadi, termasuk terhadap orang-orang yang masih memiliki hubungan sedarah karena adanya kepentingan. Sejauh mana keberadaan permasalahan-permasalahan tersebut terungkap dalam trilogi novel ini dan apakah realitas ini cukup signifikan terjadi dalam masyarakat pada waktu novel ini dibuat ? Hal ini perlu diungkap karena karya sastra merupakan cerminan masyarakatnya.
Setiap karya sastra yang ditulis tentunya memiliki ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi sesuatu yang berharga bagi perkembangan kehidupan masyarakat. Adapun ide, gagasan atau pengalaman dan amanat yang ingin disampaikan pengarang tersebut tidak akan terlepas dari kondisi lingkungan penulisnya. Pradopo (2002:59) mengemukakan  bahwa karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Sejalan dengan kondisi tersebut, Herder (dalam Atmazaki, 1990: 44) menjelaskan bahwa karena karya sastra dipengaruhi oleh lingkungannya, maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri. Kondisi ini mengakibatkan adanya hubungan sebab akibat dan timbal balik antara karya satra dengan situasi sosial tempatnya dilahirkan. Terkait hal itu pula Ikhwanuddin Nasution dalam tulisannya pada saat pengukuhan guru besarnya di Universitas Sumatra Utara (Nasution, 2009 : 2) menyatakan bahwa karya sastra (sastra) merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat. Meskipun karya sastra yang baik pada umumnya tidak langsung menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan kehidupan masyarakat yang digambarkannya.
Alasan selanjutnya mengenai penilaian pentingnya analisis terhadap karya tersebut penulis sandarkan pada keberadaan trilogi novel ini sangat fenomenal. Banyak kritikus sastra yang mengagumi dan membicarakannya dalam berbagai tulisan, seperti Sapardi Joko Damono, dalam Tempo 19 Februari 1983 menuliskan bahwa secara struktral, latar, peristiwa dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana digambarkannya dengan menarik, bahkan tidak jarang, sangat menarik. Selain itu Dr. H.J.M Meier dalam Orion, April 1984 menyatakan “suatu kisah yang disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita pun sangat lazim. Tetapi yang paling mengasyikan dari kesemua itu adalah gambaran tandas yang berhasil dibangkitkan Ahmad Tohari, yang mengikis khayalan indah kita tentang kehidupan pedesaan di Jawa”. Dr. Bertold Damhauser dari Universitas Bonn, Jerman bahkan menyatakan bahwa novel ini merupakan bacaan wajib mahasiswa jurusan sastra Asia Timur.
Selain banyak yang mengagumi dan membicarakannya, trilogi novel ini juga telah banyak yang mengalihbahasakannya ke dalam beberapa bahasa seperti Shinobu Yamane yang mengalih bahasakan ke dalam bahasa Jepang, Harry Aveling yang mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Inggris dan banyak lainnya.
Sebagai penulis, Ahmad Tohari merupakan sastrawan yang kreatif, mampu menuturkan hal-hal yang biasa dengan luar biasa. Ahmad Tohari adalah sosok yang tidak pernah lepas dari pengalaman hidup kedesaannya, sehingga hampir di semua karyanya Ahmad Tohari menyuguhkan tokoh-tokoh masyarakat desa dengan latar alam pedesaan yang begitu kental yang diharu-biru oleh problematika dan permasalahan sosial, budaya, bahkan permasalahan politik, seperti yang tereksplorasi dalam trilogi novel ini.
Ahmad Tohari merupakan pengarang garda terdepan dalam penulisan karya sastra bersama pengarang Pramoedya Ananta Toer, Umar Khayam, Danarto, Budi Darma, Iwan Simatupang, Putu Wijaya hingga Joni Ariadinata, Fira Basuki, Korie Layun Rampan, Dewi (Dee) Lestari, Ayu Utami. Artinya pengarang-pengarang ini merupakan sosok pengarang yang memiliki kualitas yang baik dan selalu mengeksplorasi hal-hal baru dalam penulisan karyanya.
Melalui karya-karyanya, Ahmad Tohari telah memperlihatkan kapasitasnya sebagai pengarang dengan pandangan-pandangannya yang realis, sederhana namun mampu ‘mempermainkan’ emosi pembaca. Dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk  terdapat pandangan Ahmad Tohari mengenai masyarakatnya. Melalui keberadaan tokoh-tokoh dalam novel ini, Ahmad Tohari  ingin menyuarakan aspirasinya mengenai kenyataan sosial yang terjadi. Hubungan antar tokoh termasuk terhadap keberadaan lingkungannya merupakan hubungan yang membentuk totalitas makna.
Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala memiliki kekutan yang khas dengan memiliki tingkat ekspresif yang tinggi. Secara struktural trilogi novel ini  memiliki tokoh-tokoh yang penuh dengan problematika baik dalam batinnya maupun dengan masyarakat, eksistensialisme, idealisme, alur, pengaluran, yang sederhana namun penuh dengan intrik dan akhir yang dramatis, nilai ideologis, politik, sosial, dan pertentangan kelas yang tinggi.
Tokoh Srintil yang merupakan tokoh utama dalam novel ini mengalami berbagai pergolakan, baik dalam diri pribadinya maupun terhadap tokoh lainnya, seperti tokoh Rasus yang menjadi Suaminya dan juga lingkungannya. Sebagai seorang ronggeng pengalaman pahit telah ia hadapi bahkan ketika pada masa pergolakan politik tahun 1965 pun ia turut mengalami dengan keadaan yang tak menentu, hingga keberadaannya orang-orang terdekat dan desanya pun mengalami perubahan dan seolah-olah tidak menerimanya.
Terlepas dari keberadaan struktur dan permasalahan sosial yang mendalam dan terkandung dalam setiap karya sastra, sedikit penggambaran keberadaan tokoh dengan problematikanya seperti di atas, mengisyaratkan dan penulis yakini bahwa strukturalisme genetik menjadi pendekatan yang mampu menjadi pisau analisa yang sesuai terhadap karya Ahmad Tohari ini, terlebih terhadap keberadaan pengarang dengan lingkungannya pada waktu karya tersebut dibuat.
Strukturalisme genetik sebagai pendekatan sosiologi sastra meyakini bahwa adanya hubungan teks sastra dengan hal-hal di luar teks. Hal-hal di luar teks tersebut adalah pengarang dan lingkungan yang mempengaruhinya. Dalam penciptanya, diyakini bahwa seseorang pengarang pada dasarnya menuliskan kembali berbagai hal problema sosial yang dirasakan, dilihat, dan dialaminya. Dengan keberadaan tersebut  karya sastra hadir dan menjadi bagian dari masyarakat yang merupakan hasil curahan imajinasi pengarang yang mencoba menghasilkan vision du monde (pandangan dunia) kepada subjek kolektifnya. Artinya dalam karya sastra tersebut tidak hanya terdiri dari unsur intrinsik (struktur) saja, namun juga terdapat unsur ekstrinsik (pengarang dan lingkungannya).  
Untuk mengetahui pandangan pengarang, tentunya perlu dilakukan analisis terhadap 3 hal, yaitu: unsur intrinsik (struktur karya sastra) baik secara parsial maupun secara keseluruhan, latar belakang kelompok sosial pengarang, hal ini diyakini bahwa pengarang merupakan bagian dari kelompok sosial tertentu, dan latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra tersebut diciptakan.
Dengan keberadaan pandangan dunia tersebut, maka karya sastra merupakan pandangan pengarang tentang masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu untuk mengetahui proses mental  di dalam teks diperlukan pendekatan linguistik fungsional sistemik.
Penggunaan pendekatan strukturalisme genetik sebagai pisau analisis terhadap karya sastra, terutama tulisan-tulisan ilmiah di universitas, telah banyak dilakukan. Dalam hal ini dilakukan oleh Junus (1986:182—205). Junus melakukan dua penelitian dengan teori strukturalisme genetik. Penelitan pertama berjudul “Ziarah dan pandangan Iwan Simatupang tentang situasi masyarakat Indonesia: Pelaksanaan Pendekatan Goldmann”. Penelitian kedua berjudul Srengenge Pandangan Dunia Shahnon Ahmad tentang Tradisi dan Modern“ Dalam penelitian novel Ziarah karya Iwan Simatupang Junus berkesimpulan bahwa novel Ziarah merupakan cerminan masyarakat Indonesia yang tidak rasional Masyarakat Indonesia siap menyongsong modernitas, teknologi dan hal-hal yang tidak rasional seperti takhyul, dukun, dan ramalan. Dalam padangan Iwan masyarakat Indonesia menuju rasionalitas, sementara hal-hal yang tidak rasional belum sanggup mereka lepaskan Dalam penelitian novel Srengenge Junus berkesimpulan bahwa Shahnon Ahmad berpandangan bahwa akar budaya Melayu tidak mungkin lenyap meski masyarakat Melayu berusaha menyerap budaya modern. Modernitas atau pembaharuan yang dilakukan hanyalah struktur luar masyarakat, sementara itu jiwa masyarakat Melayu tetap Melayu. Pandangan demikian tidak hanya pandangan pengarang, tetapi pandangan masyarakat Melayu pada umumnya.
Selanjutnya yang menggunakan pendekatan strukturalisme genetik dilakukan oleh Faruk tahun 1999 terhadap novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli untuk tesisnya di Universitas Gajah Mada, yang menyimpulkan novel Siti Nurbaya mengeksprsikan dunia tragik, padangan dilematis mengenai kehidupan. Pandangan dunia tersebut merupakan produk berbagai tingkat sosial, baik antara pengarang sebagai pribadi dengan lingkungan keluarganya, pengarang sebagai sastrawan dengan pengayoman, dan pengarang sebagai anggota birokrat-aristokratik dengan lingkungan dalam sistem kolonial dan sistem sosial yang sedang mengalami perubahan sosial yang besar dan penuh konflik.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang berupa tulisan skripsi yang dilakukan penulis pada tahun 2005 di Universitas Pendidikan Indonesia, dengan judul “Pencarian jati diri (Kajian strukturalisme Genetik terhadap Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer)” penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya pandangan dunia pengarang yang begitu tragis masa tentara PETA dalam perang kemerdekaan. Hal ini ditandai dengan upaya pencarian jati diri yang dilakukan tokoh berakhir dengan tragis yang disimbolkan oleh kematian tokoh Ningsih. Keberadaan ini sejalan dengan keberadaan Pramoedya Ananta Toer yang pada saat itu mengalami masa sulit dan goncangan, baik secara pribadi yang berada dalam tahanan dan terhadap keberadaan kondisi bangsa yang mengalami penjajahan Jepang.
Penelitian yang menggunakan pendekatan yang sama juga dilakukan oleh Gustaf Sitepu yang menganalisis novel Asmaraloka karya Danarto untuk Tesisnya tahun 2009 di Universitas Sumatera Utara yang juga mengemukakan struktur mental yang terkandung dalam novel Asmaraloka. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah problematika tokoh lebih banyak disandarkan kepada Tuhan, dalam bentuk kepasrahan. Kemudian dalam penelitian ini tercermin adanya upaya Danarto yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai yang dianutnya. Selain itu novel Asmaraloka yang membahas tentang perang antar etnis dan kerusuhan yang terjadi tahun 1998 mengindikasikan tidak adanya upaya pemerintah dalam merespon keberadaan aspirasi masyarakat. Untuk keluar dari kerusuhan tersebut diperlukan adanya penyucian hati dan kesadaran jiwa. Kemudian yang terakhir yaitu mengenai proses mental (afeksi, persepsi dan kognisi) mengindikasikan adanya penggambaran Danarto mengenai keadaan jiwa yang prustasi dan gundah gulana dalam menghadapi kondisi perang antar etnis. 

1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana struktur trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antar tokoh maupun lingkungannya?
2.      Bagaimana kehidupan sosial pengarang Ahmad Tohari yang berhubungan dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala?
3.      Bagaimana latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala?
4.      Bagaimanakah pandangan Ahmad Tohari tentang masyarakat Indonesia dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala ?
5.      Bagaimankah prilaku manusia dan proses mental dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan struktur trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antar tokoh maupun lingkungannya.
2.      Mendeskripsikan kehidupan sosial pengarang Ahmad Tohari yang berhubungan dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala.
3.      Menganalisis latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala.
4.      Menganalisis pandangan Ahmad Tohari tentang masyarakat Indonesia dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala.
5.      Menganalisis prilaku manusia dan proses mental dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat memberikan deskripsi teori strukturalisme genetik dan proses mental pada trilogi karya Ahmad Tohari ini.
Secara praktis, penelitian ini menghasilkan model penelitian teks sastra dengan teori strukturalisme genetik dan teori linguistik fungsional sistemik melalui analisis tingkah laku manusia dan proses mental. Model penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Penemuan problem sosial yang dialami oleh masing-masing tokoh.
2.      Pengkajian dunia sosial pengarang dalam kaitannya lingkungan keluarga dan kelompok sosial pengarang.
3.      Pengkajian peristiwa sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang dianggap mengkondisikan pengarang untuk menulis karya sastra.
4.      Penemuan pandangan pengarang dengan menghubungkan secara dialektika (poin 2 dan 3)
5.      Menemukan prilaku manusia dan proses mental, terutama yang tercermin dalam problematika psikologi  dalam trilogi novel karya Ahmad Tohari ini .

1.5 Metode Penelitian
Metode peelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan melakukan studi kepustakaan. Hal ini dilakukan dengan melakukan penelaahan terhadap data yang berupa buku-buku. Data primer adalah trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala, sedangkan data sekunder diperoleh dari pembacaan novel atau referensi yang berkaitan dengan novel yang penulis kaji. Data sekunder dipergunakan untuk mendukung interpretasi data primer.

1.6 Landasan Teori
1.6.1 Strukturlisme Genetik
Teori strukturalisme-genetik dipelopori oleh Lucien Goldman, seorang pemimpin disiplin ilmu kritik Marxis dengan “Neo Hegelian” berkebangsaan Rumania. Munculnya strukturalisme genetik diawali dari adanya pandangan Taine yang mencoba menelaah sastra dari sudut pandang sosiologis. Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan (Junus dalam Fananie 2000:117). Fenomena hubungan tersebut kemudian dikembangkan oleh Lucien Goldmann dengan teorinya yang dikenal dengan Strukturalisme Genetik (Fananie 2000:117). Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Strukturalisme Genetik Goldmann adalah penelitian sosiologi sastra (Junus 1988:20).
Sosiologi sastra yang dikembangkan Goldmann mencoba untuk menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik. Baginya, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna (Damono1978:40). Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie 2000:117).
1.6.1.1 Konsep Struktur Karya Sastra
Dalam Pengantar Sosiologi Sastra Dari Strukturalisme Genetic Hingga Post Modernime, yang ditulis oleh Faruk, Goldman menyatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur, akan tetapi struktur itu bukan merupakan hal yang statis, melainkan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi, dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.
Karya sastra memiliki struktur yang koheren atau terpadu. Konsep struktur karya sastra dalam teori strukturalisme genetik berbeda dengan konsep struktur karya sastra otonom. Goldmann pernah mengatakan dua pendapat mengenai karya sastra.  Pertama, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi-relasi secara imajiner. Karena itu, dibedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi. Filsafat mengekspresikan pandangan dunia secara konseptual sedangkan sosiologi mengacu pada empirisitas (Faruk, 1999:17).
Struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann adalah konsep struktur yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat perhatian adalah relasi antara tokoh dengan tokoh  dan tokoh dengan objek yang ada di sekitar tokoh. Goldmann mendefenisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian nilai-nilai otentik yang terdegradasi dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian tersebut dilakukan oleh seorang atau tokoh hero yang problematik (Faruk, 1994:18).
Karya sastra sebagai karya estetik dalam pandangan strukturalisme genetik memiliki dua estetika, yaitu estetika sosiologis dan estetika sastra. Berkaitan estetika sosiologis, strukturalisme genetik menunjukkan hubungan antara salah satu pandangan dunia dan tokoh-tokoh serta hal-hal yang diciptakan pengarang dalam karyanya. Sedangkan berkaitan dengan estetika sastra, strukturalisme genetik menunjukkan hubungan antara alam ciptaan pengarang dengan perlengkapan sastra yang dipergunakan pengarang untuk menuliskannya (Damono,1984:43).
Karena struktur karya sastra merupakan representasi dan mengambil bahan masyarakat, struktur karya sastra memiliki hubungan secara tidak langsung dengan struktur masyarakat. Dalam hubungan itu, peran pengarang sangat menentukan. Dalam struktur karya sastra yang dihasilkan, seorang pengarang menyuarakan aspirasi kelompok sosial tertentu melalui gambaran problematik hubungan tokoh tokoh yang dilukiskan
Struktur karya sastra dengan demikian harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Pemahaman itu dapat dilakukan dengan melihat hubungan antara tokoh dengan tokoh lain maupun antara tokoh dengan lingkungannya. Dari hubungan hubungan tersebut, terlihatlah problematika yang dihadapi sang tokoh dalam memperjuangkan nilai kehidupan yang dianggap sesuai dengan kelompok sosialnya dalam menghadapi kelompok sosial yang lain.

1.6.1.2 Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktifitas atau perilaku manusia, baik berupa verbal maupun fisik yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan (Faruk, 1998: 70-71). Fakta kemanusiaan dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik, aktivitas individual tertentu, kreasi kultural yang berupa seni sastra, seni musik, filsafat dan lainnya.
Fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fakta sosial dan fakta individual. Fakta sosial mempunyai peran dalam sejarah, sedangkan fakta individual merupakan aktivitas libidinal seseorang. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disebutkan subjek dari fakta kemanusiaan adalah subjek kolektif dan subjek individual.
Fakta kemanusiaan merupakan hasil usaha manusia dalam mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar (Goldman dalam Faruk 1998: 71). Untuk mencapai keseimbangan tersebut, diharuskan adanya proses strukturasi timbale balik yang saling bertentangan tetapi sekaligus saling isi-mengisi, dalam kata lain adanya fase trans-individual.
Subjek trans-individual merupakan satu kesatuan atau kolektivitas individu-individu tersebut. Hal demikian juga menjadi subjek karya sastra yang besar, sebab karya sastra semacam itu merupakan hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia. Karya sastra yang besar berbicara alam semesta dan hukum-hukumnya serta persoalan-persoalan yang tumbuh darinya (Faruk, 1994:14—15). 

1.6.1.3 Subjek Kolektif
Karya sastra merupakan manivestasi fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh subjek kolektif. Aspirasi pengarang dalam karyanya bukan semata-mata aspirasi individual. Aspirasi pengarang adalah aspirasi yang mewakili kolektifitas kelompok sosialnya. Kedudukan sosial pengarang dalam kelompok sosialnya kemudian menjadi penting dan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya
Konsep subjek kolektif digunakan dalam penelitian untuk megetahui latar kehidupan sosial pengarang. Pengarang jelas diikat oleh kelompok sosialnya. Pengarang jelas akan menyuarakan aspirasi kelompok sosial atau subjek kolektif. Sebagai individu yang menginterpretasikan subjek kolektifnya, pengarang memiliki struktur mental yang mencerminkan subjek kolektifnya. Struktur mental pengarang ini dibentuk oleh lingkungan keluarga dan masyarakat atau kelompok sosialnya. Lingkungan keluarga atau orang tua mewarnai pandangan pengarang karena kebiasaan-kebiasaan, norma, filsafat kehidupan banyak tertanam melalui hubungan sosiologi keluarga. Sementara itu, kelompok sosial pengarang berupa hubungan persahabatan dengan manusia lain, pengalaman hidup, serta buku-buku hubungan persahabatan dengan manusia lain, pengalaman hidup, serta buku-buku bacaan yang memiliki kontribusi proses kreatif pengarang.

1.6.1.4 Konsep Pandangan Dunia
Pandangan dunia merupakan kompleks yang menyeluruh dari gagasan-gagasan, inspirasi-inspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya (Goldman, dalam Faruk 1988: 74).
Berdasarkan definisi di atas, maka pandangan dunia bukanlah merupakan fakta empiris langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial dihadapan kelompok sosial lainnya. Pandangan dunia bukan merupakan ekspresi suatu kelompok sosial saja, tetapi juga kelas sosial. Sebab seorang pengarang juga merupakan anggota kelas sosial, lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar.
Seperti Taine dan Plekanov, Goldman (dalam Damono, 1979: 45) beranggapan, bahwa pendekatan sosialogis (dalam hal ini Strukturalisme genetik) yang sahih hanya bisa dilaksanakan terhadap karya sastra besar, karena karya sastra yang besar memiliki konsep pandangan dunia, sehingga adanya koherensi dalam karya sastra tersebut, baik deep structure maupun surface structure.
Selain hal di atas, Goldman menemukan adanya pandangan dunia yang bersifat tragik. Pandangan dunia ini mengandung tiga elemen, yaitu pandangan mengenai Tuhan, manusia, dan dunia. Pandangan dunia tragik mengenai semua elemen itu bercirikan dua hal yang bertentangan. Pertama, pemahaman secara lengkap dan tepat mengenai dunia baru yang diciptakan oleh individu rasionalistik bersama tuntutan-tuntutan yang berharga dan secara ilmiah sahih. Kedua, penolakan secara total untuk menerima dunia tersebut sebagai satu-satunya dunia yang memungkinkan manusia hidup, bergerak, dan mempunyai keberadaan. Dalam konteks cerita novel, kedua hal yang bertentang tersebut berlangsung dalam waktu yang sekaligus bersamaan.

1.6.1.5 Konsep “Pemahaman-Penjelasan“ dan “Keseluruhan-Bagian“
Konsep “pemahaman-penjelasan“ dan “keseluruhan–bagian“ terkait dengan metode yang digunakan oleh teori srtukturalisme genetik. Karya sastra harus dipahami sebagai struktur yang menyeluruh. “Pemahaman“ sastra sebagai struktur menyeluruh akan mengarahkan pada “penjelasan“ hubungan sastra dengan sosio-budaya sehingga karya sastra memiliki arti. Karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil, karena itu, pemahaman terhadap karya sastra dilakukan dengan konsep “keseluruhan-bagian“. Teks karya sastra itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur berarti. Konsep tersebut melahirkan metode “dialektika“. Prinsip dasar metode ini adalah bahwa karya sastra dengan realita masyarakat memiliki hubungan yang dialektika, hubungan yang secara tidak langsung. Karya sastra mempunyai dunia tersendiri dan masyarakat merupakan dunia tersendiri. Meski memiliki dunia yang berlainan, karya sastra dan realita dapat dilihat melalui proses interpretasi. Perhatian pertama tertuju pada teks karya sastra dan perhatian yang kedua terhadap latar belakang sosiobudaya masyarakat (Junus, 1986:194).
Dalam metode dialektika dikenal konsep “pemahaman-penjelasan“. Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek (karya sastra) yang dipelajari. Penjelasan adalah usaha menggabungkan pemahaman ke dalam struktur yang lebih besar. Konsep “keseluruhan–bagian“ mengemukakan dialektika antara keseluruhan dan bagian. Keseluruhan hanya dapat dipahami dengan mempelajari bagian-bagiannya dan bagian-bagian tersebut dapat dipahami kalau ditempatkan dalam satu keseluruhan. Pemahaman dilihat sebagai suatu proses yang melingkar terus-menerus dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian ke keseluruhan. (Saraswati, 2003:81).
Strukturalisme genetik sebagai teori dengan demikian menawarkan sebuah metode analisis data. Berkaitan dengan analisis data tersebut, konsep ”pemahaman-penjelasan” dan ”bagian-keseluruhan” memberikan prosedur sebagai berikut, pertama, data novel dianalisis bagian per bagian. Untuk memperoleh pemaknaan bagian-bagian harus dipandang dalam hubungannya sebagai keseluruhan. Dalam analisis ini, perhatian utama peneliti adalah hubungan antara tokoh dengan tokoh lain maupun hubungan tokoh dengan lingkungannya. Dengan demikian terlihat problem yang dihadapi masing-masing tokoh. Kedua, agar hubungan bagian keseluruhan novel tersebut dapat dipahami, maka peneliti harus memberikan penjelasan. Penjelasan dilakukan dengan cara menghubungkan struktur novel dengan struktur sosial pengarang yang meliputi kehidupan sosial pengarang dan sejarah yang secara sinkronis dianggap mengkondisikan pengarang menulis novel

1.6.2 Linguistik Fungsional Sistemik: Proses Mental      
1.6.2.1 Linguistik Fungsional Sistemik
Untuk menemukan proses mental dalam penelitian ini, strukturalisme genetik ditopang oleh teori linguistik fungsional sistemik (triangulasi teori). Teori LFS dikembangkan oleh Halliday dan para pakar LFS lainnya, seperti Martin, Halliday dan Matthiessen, dan Kress. Teori ini berkembang di Inggris, tetapi perkembangannya sangat pesat terutama di Universiy of Sydney Australia sejak Linguistics Department dibuka di universitas itu pada 1976 (Sinar dalam Gustaf Sitepu, 2009).
Dalam teori linguistik fungsional sistemik (LFS) dengan pendekatan fungsional dinyatakan bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Dengan pengertian itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstruktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan teks fisika dan struktur teks politik dan berbeda dengan teks kesastraan. Perbedaan ini terjadi karena fungsi dan tujuan masing-masing teks berbeda.  Perbedaan teks direalisasikan oleh perbedaan tata bahasa (lexicogramar) secara kualitatif dan kuantitatif. Yang dimaksud dengan perbedaan kualitatif adalah dalam dua teks yang berbeda tujuannya pemunculan suatu aspek tata bahasa terjadi pada satu teks itu, sementara dalam teks yang satu lagi aspek tata bahasa itu tidak muncul. Perbedaan kuantitatif menunjukkan bahwa tingkat probabilitas pemunculan aspek tata bahasa itu lebih tinggi daripada teks yang satu lagi.
Dengan pengertian fungsional di atas, teks dinterpretasikan sebagai ditentukan oleh konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks.  Dengan kata lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur tertentu.  Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori LFS terdiri atas konteks situasi (register)r dan budaya (culture) yang di dalamnya termasuk ideology (ideology). Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antarpemakai bahasa terjadi.  Konteks situasi dirinci sebagai terdiri atas tiga subelemen, yaitu (1) medan (field)), yakni apa— (what) yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat (tenor) yakni siapa— (who) yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan (3) cara (model) yakni bagaimana— (how) interaksi dilakukan.  Lebih lanjut, Halliday (1974) menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism (Saragih dalam Gustaf Sitepu, 2009)

1.6.2.2 Proses mental
Halliday (dalam Sitepu, 2006:28) menjelaskan bahwa satu unit pengalaman yang sempurna direalisasikan dalam klausa yang terdiri atas tiga unsur, yaitu proses (process) partisipan (participant)  dan sirkumstan (circumstance). Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang terjadi dalam klausa yang menurut tata bahasa tradisional dan formal disebut kata kerja atau verb. Partisipan dibatasi sebagai orang atau benda yang terlibat  dalam proses tersebut. Sirkumstan adalah lingkungan tempat proses yang melibatkan partisipan terjadi. Inti dari satu pengalaman adalah proses Dikatakan demikian, proses menentukan jumlah dan kategori partisipan. Proses juga menentukan sirkumstan secara tidak langsung
Proses mental menunjukkan kegiatan atau aktivitas yang menyangkut indera kognisi, emosi, dan persepsi yang terjadi dalam diri manusia, seperti melihat mengetahui, menyenangi, membenci, menyadari, dan mendengar. Proses mental terjadi di dalam diri (inside) manusia dan mengenai mental atau psychological Aspects kehidupan.
Secara semantik, proses mental menyangkut pelaku manusia saja atau wujud lain yang dianggap atau berperilaku manusia, seperti tingkah laku dalam dongeng yang mengisahkan bahwa burung pungguk merindukan bulan. Proses mental yang mencakup kriteria semantik dan sintaksis, yaitu proses mental menyangkut manusia klausa mental memiliki paling sedikit satu partisipan manusia, seperti klausa Ayah sedang menikmati pagi bersama secangkir kopi yang memaparkan pengalaman mental dengan menikmati dan partisipan ayah. Di samping itu, proses mental dapat diikuti proyeksi dan proses mental tidak dapat diikuti oleh aspek sedang Proses mental juga merupakan proses dua hal, yakni klausa dengan dua partisipan.

1.7 Definisi Operasional
Strukturalisme genetik
trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala

DAFTAR PUSTAKA


Damono, Sapardi Joko,1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Depdikbud.
Eagleton, Terry, 2001. Marxisme dan Kritik Sastra. Jakarta: Jendela
Faruk, 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra. Yogyakarta : PD Lukman Offset.
__________1999. Pengantar Sosiologi Sastra Dari Strukturalisme Genetik Hingga Post Modernime. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
__________1999. Hilangnya Pesona Dunia, Siti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosila Kultural. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia 
Fananie, Zaenuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Jabrohim, 2001. Metode Penelitian Sastra, Yogyakarta : Hanindita
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.
___________1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
___________1988. Karya Sastra Sebagai Sumber Makna Pengantar Strukturalisme. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Kementrian Pendidikan Malaysia.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bell, dan Wellem. Diindonesiakan oleh Dik Hartoko. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
­­___________1984. Tentang Sastra. Jakarta: Gramedia.
Nuswantoro. 2001. Daniel Bell Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sitepu, Gustap. 2009. Strukturalisme Genetik Asmaraloka. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan
Sumardjo, Yakob 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Tohari, Ahmad. 2009. Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk . Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Ucu. 2005. Pencarian Jati Diri (Analisa Strukturalisme Genetik Pada Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer) Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.