Salam Kawan!

Salam Kawan!

Semulia-mulia manusia ialah orang yang mempunyai adab yang merendah diri ketika berkedudukan tinggi, memaaf ketika berdaya membalas dan bersikap adil ketika kuat -Khalifah Abdul Malik Marwan

Berawal dari Sebuah Idealisme

Berawal dari Sebuah Idealisme

Mengenai Metode Penelitian


PENELITIAN FENOMENOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang Masalah
            Tidak ada metode atau praktik tertentu yang dianggap unggul, dan tidak ada teknik yang serta merta dapat disingkirkan. Kalau dibandingkan dengan metodologi penelitian yang dikemukakan oleh Feyerabend (dalam Chalmers, 1982) mungkin akan mendekati ketepatan, karena menurutnya metodologi apa saja boleh dipakai asal dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. Kegiatan penyelesaian masalah yang disebut penelitian dapat dilakukan secara sistematis dengan mengikuti metodologi, dikontrol, dan didasarkan teori yang ada serta diperkuat dengan gejala yang ada (Sukardi, 2004:3).
            Kita semua mengalami berbagai jenis pengalaman termasuk persepsi, imajinasi, pikiran, emosi, keinginan, kemauan, dan tindakan. Dengan demikian, ranah dari fenomenologis adalah berbagai pengalaman. Pengalaman tidak hanya mencakup pengalaman yang relatif pasif seperti pada penglihatan atau pendengaran, tetapi juga pengalaman aktif dalam berjalan, memalu paku, atau menendang bola.
B.           Pengertian Fenomenologis
            Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan metode penelitian fenomenologis serta contoh penerapannya dalam kegiatan penelitian. Kelompok kami akan membahas metode penelitian yang menggunakan teknik fenomenologis. Sebelum kami menjelaskan secara rinci tentang metode penelitian fenomenologis, kami sampaikan terlebih dahulu pengertian dan sejarah terbentuknya pemikiran fenomenologis. Fenomenologis sebelum menjadi sebuah metode penelitian, merupakan sebuah aliran dalam filsafat yang paling berpengaruh pada awal abad 20 yang dipelopori oleh Edmund Husserl. Tokoh-tokoh yang mengembangkan fenomenologis setelah sepeninggalnya Edmund Husserl antara lain, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, dan Jacques Derrida. Di antara tokoh-tokoh tersebut, ada salah satu yang menghubungkan aliran fenomenologis dengan bahasa (tanda).
            Menurut Adian (2010: 4) fenomenologis adalah ilmu tentang penampakan (fenomena). Artinya, semua perbincangan tentang esensi di balik penampakan dibuang jauh-jauh. Istilah fenomenologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu phainomenon (penampakkan diri) daa logos (akal). Ilmu tentang penampakan berarti ilmu tentang apa yang menampakkan diri pada pengalaman subjek. Tak ada penampakan yang tidak dialami. Hanya dengan berkonsentrasi pada apa yang tampak dalam pengalaman, maka esensi dapat dirumuskan dengan jernih. Dalam konteks fenomenologis dipahami sebagai apa yang tampak dalam kesadaran.
            Kemudian, Adian (2010: 145) menambahkan, bahwa fenomenologis adalah sebuah studi tentang fenomena-fenomena atau apa saja yang tampak. Fenomenologis mengungkapkan sebuah pendekatan atau cara bersilsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala-gejala yang berhubungan dengan kesadaran. Edmund Husserl mendefinisikan fenomenologis sebagai studi tentang esensi dan aktivitas-aktivitas kesadaran. Namun dalam perkembangan sejarah fenomenologis selanjutnya, fenomenologis mengalami perluasan makna. Contohnya pada pemikiran Martin Heidegger yang menhubungkan fenomenologis dengan ontologi, Jean-Paul Sartre menggunakan fenomenologis untuk mengungkapkan dimensi eksistensialisme, Maurice Merleau-Ponty menghubungkannya dengan kajian psikologi Gestalt, dan Jacques Derrida menghubungkannya untuk membentuk konsepsi tentang bahasa (makna). Jadi, Jacques Derridalah yang menghubungkan aliran filsafat fenomenologis dengan bahasa (tanda) yang dikemudian hari, akan berkembang sebagai sebuah salah satu metode penelitian yang tidak hanya meneliti masalah kefilsafatan atau kebahasaan saja, tetapi juga segala masalah (fenomena) yang terjadi di dalam masyarakat yang perlu untuk diteliti dan dikaji demi kebaikan bersama.
            Fenomenologis sebagai deskripsi gejala kesadaran tampaknya merupakan sebuah konsekuensi logis dari pendapat yang menyatakan bahwa fenomenologis adalah ilmu mengenai yang tampak dalam masyarakat (Sumiyadi, 2005: 22). Dalam aliran filsafat fenomenologis, ada beberapa istilah yang perlu diketahui, yaitu:
a)      reduksi fenomenologis adalah penampakan benda-benda sebagai gejala kesadaran yang menampakkan diri,
b)      reduksi eiditis adalah penampakan intisari fenomena, dan
c)      reduksi fenomenologis transendental adalah penampakan akar-akar kesadaran yang bersifat murni atau transendental (metafisika).
            Sumiyadi (2005), mengatakan bahwa fenomenologis bukanlah suatu aliran, melainkan sebuah metodologi. Karena fenomenologis merupakan metode berpikir, ilmu apapun dapat menerapkannya sebagai metode penelitian. Seperti yang telah kami tulis di atas. Kemudian, fenomenologis berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak” dengan pengertian bahwa fenomena adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam  pemahaman manusia. Jadi suatu objek itu ada dalam relasi kesadaran (Kuswarno, 2009: 1).
            Sementara dalam Standford encyclophedia of philosophy dinyatakan bahwa Phenomenology is the study of structures of consciousness as experienced from the first-person point of view. The central structure of an experience is its intentionality, its being directed toward something, as it is an experience of or about some object. An experience is directed toward an object by virtue of its content or meaning (which represents the object) together with appropriate enabling conditions. (Fenomenologi adalah studi tentang struktur kesadaran yang dialami dari titik pandang orang pertama. Struktur pusat pengalaman adalah intensionalitasnya, yang diarahkan terhadap sesuatu, karena merupakan pengalaman atau tentang beberapa objek. Sebuah pengalaman diarahkan objek berdasarkan konten atau makna (yang merupakan objek) bersama-sama dengan kondisi yang memungkinkan sesuai).
            Sedangkan menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan fenomenologis adalah (a) the science of phenomena as distinct from being dan (b) division of any science which describes and clasifies its phenomena. Fenomenologis adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena. Fenomenologis mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana penampakannya.


BAB II
URAIAN TEORI

            Dalam bab II ini, terlebih dahulu kami akan menguraikan pemikiran para ahli fenomenologis tersebut beserta riwayat singkatnya masing-masing. Kemudian, kami akan menjelaskan fenomenologis dalam pengertiannya sebagai sebuah metode penelitian kualitatif.
A.    Edmund Husserl
            Edmund Husserl lahir di Prostejov Prossnitz, Moravia, wilayah kekaisaran Austria-Hongaria pada 8 April 1859, tahun yang sama dengan kelahiran tokoh bahasa John Dewey. Husserl anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Adolf Abraham Husserl dan Julie Husserl dan berasal dari kalangan kelas menengah. Fenomenologis Husserl dirancang untuk menanggulangi krisis ilmu pengetahuan. Kemampuan untuk menangani krisis itu memang di luar wewenang ilmu pengetahuan itu sendiri, sebab ilmu pengetahuan tidak bisa menyelidiki dirinya sendiri. Dan, menurut Husserl, hanya ada satu studi yang berusaha mengambil jarak dari ilmu pengetahuan itu sendiri dan yang bisa menyelidiki ilmu pengetahuan, yaitu fenomenologis. Fenomenologis bertugas membimbing para ilmuwan untuk memurnikan dan menjernihkan konsep-konsep ilmu pengetahuan. Fenomenologis menyediakan jalan bebas untuk mengubah sudut pandang seiring arus pengalaman terhadap objek penyelidikan. Fenomenologis bermaksud mendeskripsikan pengalaman manusia sebagaimana manusia itu mengalaminya sendiri. Fenomenologis Husserl selanjutnya berhasil menemukan adanya dunia yang dihayati oleh subjek. Artinya, kesadaran yang tertuju pada manusia yang selalu terarah terhadap dunia dan keterarahan ini melibatkan suatu wawasan makna yang disebut sebagai dunia kehidupan.
B.     Martin Heidegger
            Martin Heidegger lahir di kawasan pinggiran daerah Messkirch, Jerman pada 26 September 1889 dari pasangan Friedrich Heidegger dan Johanna Heidegger. Tidak terlalu sulit melihat fenomenologis Heidegger dalam kehidupan sehari-hari, karena dia mencurahkan perhatian pada persoalan tersebut. Dalam fenomenologis Heidegger, kita menemukan betapa filsafat masuk ke dalam apa yang tidak biasa dibahas oleh filsafat, yaitu keseharian yang biasa dihadapi oleh manusia awam. Heidegger mendeskripsikan kecemasan sebagai sesuatu yang kita alami sehari-hari sebagai sebuah peristiwa yang melibatkan suasana hati yang tidak nyaman, sehingga kita cenderung untuk lari dari keadaan tersebut. Manusia hidup dalam tiga dimensi waktu sekaligus, yakni mengantisipasi masa depan, mengambil kembali apa yang telah berlalu, dan mengaktualisasikannya di waktu sekarang. Contohnya adalah seorang montir motor. Saat memperbaiki motor, montir tersebut mengalami tiga dimensi waktu: masa lalu (penegtahuan tentang memperbaiki motor yang dipelajari saat di STM), masa sekarang (memperbaiki motor dengan bekal pengetahuan saat di STM dan antisipasi akan kerusakan motor itu lagi), dan masa depan (mengantisipasi motor yang telah sempurna kemudian rusak lagi).
C.    Jean-Paul Sartre
            Mempunyai nama lengkap Jean-Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre. Beliau lahir di kota Paris, Prancis pada 21 Juni 1905 dari pasangan Jean Baptiste Sartre dan Anne-Marie Schwitzer yang berasal dari keluarga intelektual keturunan Jerman-Prancis. Sartre memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan fenomenologis, khususnya dalam mendeskripsikan persoalan karakter negativitas kesadaran. Menurut Sartre, objek-objek imajinasi seakan-akan dikotori oleh semacam ketiadaan. Di sini Sartre berusaha menunjukkan perbedaan proses persepsi dan imajinassi secara radikal. Sartre mengakui, bahwa pada aktivitas imajinasi, suatu objek menunjukkan kesadaran langsung dari ketiadaan. Dengan demikian, Sartre membuat pernyataan yang kuat bahwa gambaran yang diberikan dalam tindak imajiansi tidak pernah dapat menjadi sumber pengetahuan.
D.    Maurice Merleau-Ponty
            Maurice Merleau-Ponty lahir di Rochefort-sur-mer, Charente-Maritime, Prancis pada 14 Maret 1908. Fenomenologis Merleau-Ponty bermula dari sebuah kedekatan yang tidak mungkin ditinggalkan, yaitu manusia berkesadaran hanya dalam kondisi ketubuhannya. Fenomenologis Merleau-Ponty meluncurkan kritik terhadap ketidakmampuan ilmu empiris kontemporer dalam menyelidiki dunia pengalaman manusia. Ilmu pengetahuan telah menjadikan perilaku manusia sebagai objek yang dipisahkan satu sama lain oleh indera dan telah gagal memahami subjek secara holistik. Selain itu, bagi beliau, metode induktif dan pemikiran kausal harus ditolak karena penjelasan sebab-akibat yang cocok untuk fisika ternyata tidak cocok untuk psikologi, misalnya.
E.     Jacques Derrida
            Jacques Derrida lahir di El-Biar, Aljazair pada 15 Juli 1930 dari pasangan Aime Derrida dan Esther Sultana Geogette Safar. Dalam tradisi metafisika menyatakan, bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, artinya tanda menggantikan sesuatu yang tidak hadir. Menurut Derrida bahwa tanda adalah sebagai trace (bekas). Sebagai suatu tanda yang merupakan suatu bekas pada hakikatnya tidak mempunyai substansi daan kuantitas sendiri melainkan hanya menunjuk. Konsep Derrida dapat dianalogikan pada segelas air teh, bahwa setelah air teh diminum maka tinggalah gelas bekas air teh. Menurut Derrida gelas tersebut adalah sebagai bekas yang menunjuk kepada air teh, dapur, atau orang yang meminumnya. Adapun air teh, dapur, serta orang yang meminum teh juga menunjuk kepada hal-hal yang lain lagi dan seterusnya. Bekas selalu melalui objek dan objek timbul dalam jaringan tanda dan tidak pernah diberikan bagi sesuatu intuisi dasar seperti halnya dengan benda itu sendiri. Derrida berpendapat bahwa secara ontologis tulisan mendahului ucapan dan tulisan adalah barang asing yang masuk ke dalam sistem bahasa. Sudah menjadi suatu keyakinan umum bahwa penulisan abjad menghadirkan ucapan dan sesaat kemudian hilang di balik kata-kata yang diucapkannya. Dengan demikian, makna bukanlah urusan struktur, karena makna tidak dapat dibangun dalam ucapan. Hal ini dikarenakan jika makna sudah terbentuk di dalam bahasa, maka orang tidak lagi membutuhkan interpretasi.
F.     Fenomenologis Sebagai Sebuah Metode Penelitian
          Dewasa ini fenomenologis dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir, yang mempelajari fenomena manusiawi (humanity phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, realitas objeknya, dan penampakannya. Fenomenologis tidak beranjak dari keberadaan kebenaran fenomena yang tampak, namun sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak itu, adalah objek yang penuh dengan makna transendental. Oleh karena itu, untuk mengetahui hakikat kebenaran, maka perlu menerobos melampaui fenomena yang tampak itu. Fenomenologis tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika pengalaman itu sedang di alami. Pada hakikatnya fenomenologis mengklasifikasikan pengalaman berdasarkan aspek-aspek kesamaan, seperti melihat fenomena seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan penuh rasa kasih sayang, dan pada saat itu kita teringat akan keberadaan orang tua kita. Dengan demikian pada praktiknya, fenomenologis mengasumsikan “kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman.
            Untuk menemukan berbagai kesamaan pengalaman itu, tentu saja memerlukan alat pengamatan yang khusus. Inilah awalnya fenomenologis berkembang, tidak hanya sebuah pemikiran filasafat, namun juga metode berpikir dan sebagai metode penelitian. Tujuan utama fenomenologis adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan. Seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologis mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mencari makna dan konsep-konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain.
            Fenomenologis bertujuan pula untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung atau berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang ditempelkan padanya. Dengan demikian peneliti fenomenologis harus menunda proses penyimpulan dari sebuah fenomena, dengan mempertanyakan dan meneliti terlebih dahulu fenomena yang tampak. Konsekuensi hal tersebut, fenomenologis sebagai metode penelitian tidak menggunakan hipotesis dalam prosesnya, walaupun fenomenologis bisa jadi menghasilkan sebuah hipotesis untuk diuji lebih lanjut. Selain itu fenomenologis tidak di awali dan tidak bertujuan untuk menguji teori. Jadi pada praktiknya, fenomenologis cenderung untuk menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam. Fenomenologis pada dasarnya berupaya untuk “mereduksi” kesadaran informan dalam memahami sebuah fenomena, bukan berupaya mencari pendapat benar atau salahnya informan dalam suatu fenomena, atau disebut dengan metode verstenhen. Dengan keberadaan metode verstenhen ini, penelliti mengharuskan menggunakan metode penelitian kualitatif.
            Menurut Moustakas dalam Phenomenological Research Methodes, pada prinsipnya kegiatan yang dilakukan peneliti dalam sebuah penelitian fenomenologis adalah sebagai berikut:
1.      Merumuskan topik dan pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang berakar pada makna-makna biografis dan nilai-nilai. Adapun pertanyaan yang dirumuskan harus menyertakan makna-makna sosial yang berarti. Karena jangan sampai pertanyaan penelitian yang sudah dibuat tidak dimengerti oleh orang lain,
2.      Melakukan telaah dokumen-dokumen secara profesional. Maksud profesional adalah melakukan penelaahan dokumen tanpa pandang bulu. Tidak profesional misalnya, peneliti tidak menjadikan suatu buku untuk referensi karena tidak simpati kepada penulisnya. Mencantumkan sumber rujukan juga salah satu indikasi profesionalitas dalam melakukan telaahan dokumen,
3.      Membuat seperangkat kriteria untuk menentukan lokasi dan peran yang sesuai bagi peserta penelitian (asisten peneliti dan informan),
4.      Membekali asisten penelitian dengan serangkaian instruksi mengenai sifat alamiah dan tujuan dari penelitian. Selain itu juga membuat kesepakatan untuk perolehan informasi, izin penelitian, menjamin kerahasiaan hasil penelitian, menentukan tanggung jawab peneliti utama dan asisten, serta konsisten dengan etika dan prinsip-prinsip penelitian,
5.      Mengembangkan serangkaian pertanyaan dan topik, sebagai panduan dalam proses wawancara (formal dan informal),
6.      Memimpin dan merekam proses wawancara perorangan, terutama yang berhubungan langsung dengan tujuan penelitian, serta menentukan perlu atau tidaknya wawancara tambahan, dan
7.      Mengorganisasikan dan menganalisis data, memfasilitasi pengembangan deskripsi tekstural dan struktur individu, menggabungkan deskripsi tekstural masing-masing informan, dan mensintesiskan makna/ esensi dari rangkuman deskripsi tekstural maupun struktural.
            Selanjutnya Creswell menjelaskan isu-isu prosedural dalam penelitian fenomenologis, antara lain:
1.      Peneliti harus memahami cara pandang filsafat terhadap fenomena/ realitas/ objek. Terutama pada konsep-konsep bagaimana individu mengalami dan memahami realita. Epoche menjadi pusat paradigma, yaitu ketika peneliti mengesampingkan perasaan dan prasangkanya demi untuk memahami realitas fenomena yang ditelitinya,
2.      Peneliti bertanggung jawab untuk membuat pertanyaan penelitian yang berfungsi membongkar makna realitas dalam pemahaman informan. Pertanyaan penelitian juga harus mampu membuat informan menceritakan kembali kejadian yang sudah dialaminya, apa adanya (tanpa penambahan dan pengurangan),
3.      Peneliti bertugas untuk mengumpulkan data dari orang yang mengalaminya secara langsung. Biasanya melalui wawancara dalam jangka waktu yang lama, dengan informan yang jumlahnya berkisar antara 5-20 orang. Peneliti diharuskan menggunakan refleksi diri dalam mengembangkan penjelasan yang artistik,
4.      Mengikuti setiap tahapan-tahapan dalam proses analisis data, dan
5.      Membuat laporan yang komprehensif mengenai makna dan esensi dari realitas.
            Dengan demikian, isu-isu utama yang harus diperhatikan ketika akan mengadakan penelitian fenomenologis, adalah:
1.      Peneliti membutuhkan pemahaman konsep yang kuat dalam filsafat fenomenologis,
2.      Informan perlu dipillih secara hati-hati, yakni mereka yang mengalami secara langsung fenomena tersebut,
3.      Sangat sulit untuk menunda penilaian dan aspek-aspek pribadi dari si peneliti selama penelitian berlangsung, dan
4.      Peneliti harus memutuskan dengan tepat bagaimana dan dengan cara apa memasukkan aspek-aspek pribadinya ke dalam proses penelitian, tanpa kehilangan peristiwa epoche.
            Penelitian fenomenologis pada dasarnya berprinsip a priori, sehingga tidak diawali dan didasari oleh teori tertentu. Penelitian fenomenologis justru berangkat dari perspektif filsafat, mengenai “apa” yang diamati, dan bagaimana cara mengamatinya. Adapun premis-premis dasar yang digunakan dalam penelitian fenomenologis adalah sebagai berikut:
1.      Sebuah peristiwa akan berarti bagi mereka yang mengalaminya secara langsung,
2.      Pemahaman objektif dimediasi oleh pengalaman subjektif, dan
3.      Pengalaman manusia terdapat dalam struktur pengalaman itu sendiri. Tidak dikonstruksi oleh peneliti.
G.    Tahap-tahap Penelitian Fenomenologi 
1.      Tahap Perencanaan Penelitian
a)      Membuat daftar pertanyaan
Pertanyaan penelitian sangat penting kedudukannya dalam penelitian fenomenologis, karena data penelitian yang tepat akan diperoleh melalui pertanyaan yang tepat pula. Berikut adalah syarat-syarat yang sedapat mungkin harus ada dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian fenomenologi :
1)        Mencakup makna sosial dan personal yang akurat,
2)       Dinyatakan dalam kalimat yang jelas dan konkret,
3)      Kata-kata kunci dalam pertanyaan penelitian sebaiknya didefinisikan dan didiskusikan terlebih dahulu, sehingga dapat menggambarkan tujuan penelitian secara langsung,
4)    Fokus dalam pertanyaan penelitian, menentukan topik penelitian, dan bagaimana pengumpulan data dilakukan,
5)      Pertanyaan penelitian mampu membangun ketertarikan yang kuat terhadap topik penelitian,
6)    Latar belakang ketertarikan peneliti terhadap topik penelitian sebaiknya tergambar dalam pertanyaan penelitian, karena akan membimbing kepada inti dari permasalahan yang dibahas,
7)   Pertanyaan penelitian yang dikelola dalam bentuk pertanyaan yang spesifik akan memunculkan, merangkaikan, dan menyentuh permasalahan inti yang dibahas, dan
8)      Membiarkan aspek-aspek dalam topik penelitian memasuki kesadaran informan.
b)      Menjelaskan latar belakang penelitian
Menurut Moustakas, seorang peneliti fenomenologis perlu untuk menjelaskan latar belakang ketertarikannya pada topik penelitian yang dibahas. Hal ini diharapkan mengurangi bias dari penelitian. Biasanya latar belakang penelitian dinyatakan juga dalam perumusan pertanyaan penelitian. Berdasarkan analisis metariset yang pernah dilakukan biasanya masalah penelitian kualitatif lebih beragam, dibanding dengan penelitian kuantitatif. Cara menjelaskan latar belakang penelitian yang langsung (straight to the point) pada penelitian fenomenologis akan membawa penelitian lebih terfokus pada inti penelitian ketimbang penyampaiannya dengan gaya komunikasi melingkar. Jika memungkinkan kalimat pertama dalam latar belakang penelitian adalah inti atau fokus penelitian, bukan menjelaskan masalah yang bersifat umum sehingga urian lebih bersifat induktif.      
c)      Memilih informan.
Tidak ada kriteria yang pasti untuk menentukan informan penelitian. Namun demikian aspek-aspek demografis perlu mendapat perhatian yang utama, seperti usia, suku, agama, jenis kelamin, dan status ekonomi. Diperlukan penelaahan yang terperinci berkaitan dengan aspek demografis ini agar sesuai dengan topik penelitian. Berikut adalah beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan dalam memilih informan dalam penelitian fenomonologis :
1)   Kriteria utamanya sebagai syarat otentitas penelitian adalah informan harus mengalami langsung situasi atau kejadian yang berkaitan dengan topik penelitian. Tujuannya untuk mendapatkan deskripsi dari sudut pandang orang pertama,
2)      Informan mampu menggambarkan kembali fenomena yang telah dialaminya, terutama dalam sifat alamiah dan maknanya,
3)    Bersedia untuk terlibat dalam kegiatan penelitian yang mungkin membutuhkan waktu yang lama,
4)   Bersedia untuk diwawancara dan direkam aktivitasnya selama wawancara atau selama penelitian berlangsung, dan
5)      Memberikan persetujuan untuk mempublikasikan hasil penelitian.
d)     Telaah dokumen
Adapun sumber rujukan bagi telaahan dokumen yang diperbolehkan dalam penelitian fenomenologis adalah:
1)      Abstrak skripsi, tesis, disertasi, karya ilmiah, atau hasil penelitian fenomenologis (sebaiknya) yang telah dipublikasikan,
2)      Buku-buku referensi,
3)      Orang yang ahli dalam permasalahan penelitian,
4)      Perbincangan dengan dosen dan mahasiswa lain,
5)      Dokumen yang relevan, misalnya arsip pemerintah, kutipan peraturan, dan lainnya,
6)       Seminar atau pertemuan yang membahas topik yang relevan dengan permasalahan penelitian,
7)      Kamus, ensiklopedi, dan tesaurus, dan
8)      Jurnal dan bahan tulisan yang lain (termasuk yang dipublikasikan melalui internet).
2.      Tahap Pengumpulan data
Kegiatan pengumpulan data yang paling utama dalam penelitian fenomenologis adalah wawancara mendalam atau wawancara kualitatif. Karena dengan metode ini esensi dari fenomena yang diamati dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama. Wawancara sebenarnya bukanlah teknik penelitian satu-satunya pada penelitian fenomenologis, namun wawancara merupakan teknik yang paling utama. Wawancara dilakukan secara informal dan terbuka, namun peneliti tetap harus memegang kendali percakapan sesuai dengan topik atau permasalahan yang dibahas. Adapun prosedur yang harus dipenuhi dalam wawancara fenomenologis adalah sebagai berikut:
a)      Menyatakan dengan jelas identitas peneliti dan tujuan penelitian,
b)      Mampu membuat catatan-catatan kecil yang lengkap dan cepat, selama wawancara berlangsung,
c)      Usahakan untuk mengingat pertanyaan, sehingga peneliti tidak banyak kehilangan kontak mata dengan informan,
d)     Usahakan untuk tidak banyak bicara (menimpali informan) ketika wawancara berlangsung,
e)      Merekam proses wawancara,
f)       Membuat jadwal wawancara untuk masing-masing informan,
g)      Mencocokan tingkat pertanyaan dengan kemampuan informan,
h)      Memperhitungkan waktu untuk pembuatan trnaskrip wawancara,
i)        Menciptakan suasana yang nyaman selama proses wawancara,
j)        Mempersiapkan cara-cara interupsi yang tidak akan mengganggu proses wawancara,
k)      Percaya diri dengan kemampuan mewawancarai,
l)        Mempersiapkan bila harus melakukan wawancara lebih dari satu informan,
m)    Tidak melenceng dari daftar pertanyaan yang telah dibuat,
n)      Belajar untuk mendengarkan,
o)      Memperlihatkan daftar pertanyaan kepada informan sebelum wawancara berlangsung,
p)      Mampu mengendalikan emosi selama wawancara berlangsung,
q)      Antisipasi bila jawaban informan melenceng dari pertanyaan penelitian,
r)       Gunakan terus epoche selama wawancara berlangsung,
s)       Mengucapkan terima kasih kepada informan di akhir proses wawancara dan meminta persetujuan bila hasil wawancara dipublikasikan,
t)       Meminta kesediaan informan untuk wawancara tambahan bila diperlukan, dan
u)      Menanyakan dengan pertanyaan yang tepat dan bergantung kepada informan ketika mendiskusikan makna peristiwa yang mereka alami.
3.      Tahap Analisis Data
Metode analisis data fenomenologis, yang disajikan oleh Moustakas sebagai berikut:
a)      Membuat daftar dan pengelompokan awal data yang diperoleh. Pada tahap ini dibuat daftar pertanyaan berikut jawaban yang relevan dengan permasalahan yang diteliti (horizonalization),
b)      Reduksi dan eliminasi. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menguji data untuk menghasilkan invariant constitutes.
c)      Mengelompokkan dan memberi tema setiap kelompok invariant constitutes yang tersisa dari proses eliminasi. Setiap kelompok akan menggambarkan tema-tema inti penelitian,
d)     Identifikasi final terhadap data yang diperoleh melalui proses validasi awal data. Caranya dengan memeriksa data dan tema yang dilekatkan padanya.
e)      Mengkonstruksi deskripsi tekstural masing-masing informan, termasuk pertanyaan-pertanyaan verbal dari informan, yang berguna bagi penelitian selanjutnya,
f)       Membuat deskripsi struktural, yakni penggabungan deskripsi tekstural dengan variasi imajinasi, dan
g)      Menggabungkan e) dan f) untuk menghasilkan makna dari esensi dan permasalahan penelitian. Hasilnya harus menggambarkan tema secara keseluruhan.
4.      Tahap membuat simpulan, dampak, dan manfaat penelitian antara lain:
a)      Membuat ringkasan dan ikhtisar dari keseluruhan penelitian,
b)      Menegaskan hasil penelitian dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya,
c)      Menjelaskan hasil penelitian dengan kemungkinan penelitian lanjutannya,
d)     Menghubungkan hasil penelitian dengan kegunaan penelitian,
e)      Menghubungkan hasil penelitian dengan profesi penelitian,
f)       Menghubungkan hasil penelitian dengan makna-makna dan relevansi sosial, dan
g)      Menutup penjelasan dengan menawarkan tujuan dan arah penelitian selanjutnya.
5.      Teknik Validasi Data
Creswell dalam Kuswarno mencatat hal-hal mengenai teknik pemeriksaan keabsahan data, yang diantaranya sebagai berikut:
a)      Konfirmasi kepada beberapa peneliti lain, terutama mereka yang meneliti pola-pola yang mirip,
b)      Verifikasi data oleh pembaca naskah hasil penelitian (eureka factor), terutama dalam hal penjelasan logis, dan cocok tidaknya dengan peristiwa yang pernah dialami pembaca naskah,
c)      Analisis rasional dari pengenalan spontan, yaitu dengan menjawab pertanyaan berikut ini:
1)      Apakah pola penjelasan cocok dan logis?, dan
2)      Apakah bisa digunakan untuk pola penjelasan yang lain?
d)     Peneliti dapat menggolongkan data di bawah data yang sama.



BAB III
CONTOH PENERAPAN METODE FENOMENOLOGIS DALAM PENELITIAN

JUDUL : FENOMENA PENGEMIS KOTA BANDUNG
A.    Pendahuluan
1.      Latar belakang mengapa peneliti melakukan penelitian ini,
2.      Latar belakang permasalahan yang diangkat, misalnya kejadian apa yang membuat harus dilakukannya penelitan,
3.      Kegunaan penelitian, dan
4.      Kegunaan penelitian bagi peneliti secara pribadi, terutama bagi profesinya. 
B.     Telaah dokumen dari literatur yang relevan (Melacak Studi Tentang Pengemis)
1.      Pendahuluan, menampilkan tema dan topik yang akan dibuat review-nya, juga simpulan metodologi penelitian dari penelitian yang sudah dilakukan.(menjabarkan berbagai tulisan atau penelitian yang telah dilakukan mengenai keberadaan pengemis baik dari surat kabar maupun lainnya, meliputi kota asal kebanyakan pengemis, kemampuan/ keterampilan berusaha, alasan menjadi pengemis, dan lain-lain),
2.      Metode telaah dokumen yang digunakan, misalnya cara menyeleksi bahan literatur,
3.      Contoh-contoh penelitian.(studi fenomenologis tentang perilaku menyimpang pengemis, studi tentang komunikasi, dan lain-lain), dan
4.      Membuat simpulan dan ringkasan, yakni inti yang relevan dari penelitian yang akan dilakukan dan bagaimana perbedaannya dengan penelitian yang sudah dilakukan. Sehingga ada sedikit penjelasan mengenai penelitian yang sedang dilakukan.
C.     Model dan landasan konseptual penelitian. Berisi teori, konsep, proses penelitian, dan rancangan penelitian. (Perilaku pengemis dalam perspektif teoretis). Teori yang digunakan, seperti:
1.      Teori tindakan sosial Max Weber,
2.      Teori fenomenologis Alfred Schutz, dan
3.      Teori Konstruksi realitas sosial Peter Berger..
D.    Metodologi penelitian mencakup paradigma, metode, dan teknik penelitian yang digunakan. Tahapan-tahapan kegiatan penelitian mulai dari persiapan, prosedur pengumpulan data, strategi penentuan pemilihan data informan, organisasi dan analisis data, sampai proses sintesis data.
E.     Presentasi data, mencakup:
1.      Pertanyaan-pertanyaan verbal yang menggambarkan data, organisasi, analisis, dan sintesis data,
2.      Ragam dari unit-unit makna,
3.      Pengelompokkan masing-masing unit makna ke dalam tema tertentu,
4.      Deskripsi tekstural,
5.      Deskripsi struktural,
6.      Gabungan deskripsi tekstural dan struktural, dan
7.      Sintesis hasil no. 6 yang berupa makna dan esensi dari permasalahan penelitian.
F.      Simpulan, dampak, dan hasil penelitian berisi:
1.      Ringkasan hasil penelitian dalam bentuk penjelasan yang lengkap dan menarik (sintesis akhir),
2.      Nyatakan dengan jelas bahwa penelitian sudah berakhir,
3.      Pernyataan apakah penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,
4.      Apakah diperlukan penelitian lanjutan,
5.      Batasan-batasan penelitian dan batasan dalam hasil peneltian,
6.      Bagaimana dampak dari penelitian terhadap kehidupan nyata, terhadap profesi peneliti, terhadap dunia pendidikan, dan terhadap peneliti secara pribadi, dan
7.      Penutup, berisi esensi dari penelitian dan inspirasi yang dihasilkannya dalam bentuk pengetahuan baru. Selain itu juga berisi tujuan dan harapan bagi karier dan kehidupan pribadi peneliti.

BAB IV
KESIMPULAN

            Semenjak kemunculannya, fenomenologis telah digunakan secara luas dalam ilmu sosial, seperti sosiologi, psikologi, ilmu kesehatan dan keperawatan, ilmu pendidikan, serta bahasa. Fenomenologis adalah studi tentang struktur kesadaran yang dialami dari titik pandang orang pertama. Fenomenologis juga sebagai salah satu cabang dari filsafat. Tujuan utama fenomenologis adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan. Seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara etika dan estetika. Tahapan dalam penelitian fenomenologis adalah epoche, reduksi fenomenologis, variasi imajinasi dan sintesis makna, serta esensi.
            Secara harfiah, fenomenologis adalah studi yang mempelajari fenomena, seperti penampakan, segala hal yang muncul dalam pengalaman kita, cara kita mengalami sesuatu, dan makna yang kita miliki dalam pengalaman kita. Namun, fokus perhatian fenomenologis lebih luas dari hanya fenomena, yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya secara langsung). Fenomenologis mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia membangun (mengkonstruksi) makna dan konsep-konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas. Studi fenomenologis tiada lain mengungkapkan suatu fenomena yang tersembunyi agar menjadi fakta yang tampak dan mendalami fenomena yang tampak dengan mengungkapkan fakta yang tersembunyi.
            Manusia senantiasa memiliki naluri untuk mengungkapkan sesuatu di balik dunia nyata atau menginginkan sebuah “penampakan” kenyataan yang jauh lebih dalam dari sekadar mengungkapkan kenyataan empiris secara artifisial melalui panca indera. Fenomenologis dianggap sebagai cara mengungkapkan realitas murni berparadigma kualitatif. Hasil penelitian fenomenologis dan paradigma kualitatif (interpretif atau konstruktivis) pada umumnya alamiah daripada ilmiah. Dengan kata lain, semakin subjektif penelitian fenomenologis, maka hakikatnya semakin objektif penelitian tersebut.
            Sejak cara berpikir sampai dengan melakukan langkah operasional penelitian, peneliti hendaknya konsisten (istiqomah) dalam paradigma kualitatif untuk memenuhi proses dan hasil yang betul-betul alami, reflektif, serta otentik. Suatu kenyataan tampak alami karena tidak mendapat campur tangan keinginan peneliti. Pada sisi lain, kenyataan muncul secara reflektif, yang maknanya mencerminkan keadaan sesungguhnya dan kenyataan otentik yang maknanya diperoleh peneliti dari sumber pertama dan pelaku yang mengalaminya.
            Dalam makalah kami terdapat uraian yang “berat” pada pembahasan sejarah asal-usul fenomenologis dilihat dari kaca mata filsafat. Hal tersebut terjadi disebabkan kekurangan kami yang tidak dapat menyederhanakan pemikiran-pemikiran ahli filsafat fenomenologis (cikal bakal metode penelitian fenomenologis), terlebih lagi tidak mudah menyederhanakan pemikiran filsafati sejumlah tokoh yang menyumbang pemikiran mereka bagi perkembangan fenomenologis yang kami kutip pada makalah ini. Pada hemat kami, penyederhanaan pengertian filsafat hakikatnya dapat membuat dangkalnya pemikiran filsafat itu sendiri.

 DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahrial. (2010). Pengantar Fenomenologi. Depok: Koekoesan.
Arikunto, S. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
AR, Syamsuddin & Vismaia S. Damaianti. (2007). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Emzir. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Fraenkel, J.R. & Wallen, N. E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill.
Hidayat, Asep Ahmad. (2006). Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ismaun. (2010). Handout Filsafat Ilmu. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Kaelan. (2002). Filsafat Bahasa: Realitas Bahasa, Logika Bahasa, Hermeneutika, dan Postmodernisme. Yogyakarta: Paradigma.
Kuswarno, Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian Fenomena Pengemis Kota Bandung. Bandung: Widya Padjadjaran.
Narbuko, C & Abu Achmadi. (2004). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumiyadi. (2005). Pengkajian Puisi: Analisis Romantik, Fenomenologis, Stilistik, dan Semiotik. Bandung: Pusat Studi Literasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.
Susilo. (2007). Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka.
Sutopo, HB. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian (Edisi 2). Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Thwaites, Tony, Lloyd Davis, & Warwick Mules (terjemahan). (2009). Introducing Cultural and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakarta: Jalasutra.